Sabtu, 23 April 2011

Dasar dan sejarah mistik dalam wacana keagamaan

Dasar dan sejarah mistik dalam wacana keagamaan

A.   Dasar-dasar dan Sejarah mistik dalam agama Kristiani
a.     Dasar-dasar mistik dalam agama Kristiani
Mistisisme di dalam konteks Kristen adalah suatu pikiran yang percaya bahwa pengenalan akan Allah atau bersekutu dengan Allah bukan melalui sarana-sarana tidak langsung (seperti melalui Alkitab), tetapi melalui relasi atau pengalaman langsung dengan Allah.
Kekristenan tercemar oleh Mistisisme sejak dari awal timbulnya Kekristenan. Mistisisme masuk melalui pengaruh dari Neo-Platonisme. Mistisisme seringkali dikaitkan dengan istilah Misteri dalam iman Kristen, karena misteri dikaitkan dengan pengalaman mistis yang dihubungkan dengan hal-hal konkrit dan faktual.
Dalam pengembangannya, sifat mistik ini dikaitkan sampai penyatuan ekstasis dengan Realita Tertinggi. Struktur yang paling mendasar dari Misteri-Mistisisme Kristen ini dapat ditemukan dari sejak Bapa-Bapa Gereja sampai ke pemikiran Lady Julian dari Norwich, yang oleh Paul Tillich dikategorikan sebagai proses pewahyuan.
Paul Tillich melihat ada dua elemen dasar dalam pengertian mistis ini, yaitu:
(1) pertama-tama adanya “peristiwa tanda-tanda” yang betul-betul terjadi di dalam sejarah (suatu situasi yang konkrit, khususnya berkaitan dengan manusia dengan obyek di luar); dan
(2) persepsi dari hal-hal khusus yang konkrit ini sebagai suatu tanda yang merupakan hasil dari ekstasis. Ekstasis ini bukan sekedar suatu pengalaman, realisasi antisipasi yang kuat untuk kebenaran tertentu, atau suatu analisa ilmiah. Tetapi suatu perubahan pikiran yang khusus dan memiliki cirinya sendiri yang kokoh.[1]
Dan juga ada dua tema penting dalam mistisisme Kristen adalah (1) identifikasi sepenuhnya bersama Kristus (imitatio Christi atau "meniru Kristus sepenuhnya"), untuk mencapai kesatuan antara roh manusia dengan roh Allah; dan (2) penglihatan atau pengalaman yang sempurna tentang Allah, di mana sang mistikus berusaha memahami Allah "sebagaimana Ia ada," dan bukan lagi "melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar" (1 Korintus 13:12)[2]

b.     Sejarah Mistik dalam agama  Kristiani

GEREJA AWAL. Sekalipun intisari mistisisme adalah perasaan kontak dengan
apa yang transenden, mistisisme dalam sejarah Kristianitas tidak boleh
dipahami sekadar sebagai pengalaman-pengalaman ekstase istimewa, melainkan
sebagai bagian kehidupan keagamaan yang dihayati di dalam konteks komunitas
Kristiani. Dari perspektif ini, mistisisme memainkan peran vital di dalam
gereja zaman awal.

Kristianitas zaman awal adalah agama dari roh yang mengungkapkan diri
dalam peningkatan dan perluasan kesadaran manusia. Dari Injil-Injil
Sinoptik (misalnya, Matius 11:25 -27) jelas bahwa Yesus dipahami memiliki
kontak khusus dengan Tuhan. Di dalam gereja primitif, ada tugas aktif yang
dilakukan oleh para nabi [prophets], yang dipahami telah menerima wahyu
yang datang langsung dari Roh Kudus.

Aspek mistikal dari Kristianitas zaman awal memperoleh ekspresi paling
penuh dalam surat-surat Paulus dan dalam Injil Menurut Yohanes. Bagi Paulus
dan Yohanes, pengalaman dan aspirasi mistikal selalu berupa penyatuan
dengan Kristus. Keinginan Paulus yang tertinggi adalah untuk mengenal
Kristus, dan untuk menyatu dengan dia. Ungkapan yang sering diulang, "di
dalam Kristus", menyiratkan penyatuan pribadi, suatu keikutsertaan dalam
kematian Kristus dan Kebangkitannya. Kristus yang dengannya Paulus menyatu
bukanlah manusia Yesus yang dikenal "menurut daging". Ia telah ditinggikan
dan dimuliakan, sehingga ia satu dengan Roh.

Mistisisme-Kristus mendapatkan perwujudan baru di dalam Injil Menurut
Yohanes, khususnya di dalam khotbah selamat tinggal (bab 14 - 16), yang di
situ Yesus bicara tentang kematiannya yang menjelang, dan tentang
kembalinya di dalam Roh untuk menyatukan dirinya dengan para pengikutnya.
Di dalam doa Yesus pada bab 17, terdapat visiun tentang penyatuan jiwa-jiwa
yang saling meresapi satu sama lain [interpenetrating], yang di situ semua
yang menyatu dengan Kristus mengalami pula penyatuannya yang sempurna
dengan Bapa.

Dalam abad-abad Kristiani awal, kecenderungan mistikal menemukan
ekspresinya bukan hanya dalam aliran Kristianitas Paulus dan Yohanes
(seperti dalam tulisan-tulisan Ignasius dari Antiokhia dan Ireneus dari
Lyon), tetapi juga di kalangan kaum Gnostik (pemurtad Kristiani zaman awal
yang menganggap materi itu buruk dan roh itu baik). Para sarjana masih
memperdebatkan asal mula Gnostisisme, tetapi kebanyakan kaum Gnostik
melihat diri mereka sebagai pengikut Kristus, sekalipun Kristus yang berupa
roh murni.

Mistisisme kaum Gnostik dapat dilihat dalam agama dari Valentinus, yang
diekskomunikasikan sekitar tahun 150 M. Ia percaya bahwa manusia
teralienasi (terasingkan) dari Tuhan oleh karena ketidaktahuan spiritual
manusia; Kristus membawa manusia ke dalam 'gnosis' (pengetahuan esoterik
yang mencerahkan), yakni penyatuan dengan Tuhan. Valentinus berpendapat
bahwa semua manusia berasal dari Tuhan, dan bahwa semua orang pada akhirnya
akan kembali kepada Tuhan. Kelompok-kelompok Gnostik yang lain berpendapat
bahwa ada tiga tipe manusia: "spiritualistik", "psikis", dan
"materialistik", dan bahwa hanya kedua tipe pertama yang dapat
terselamatkan. Kitab "Pistis Sophia" (abad ke-3) menyibukkan diri dengan
masalah siapa yang akhirnya akan terselamatkan. Mereka yang terselamatkan
harus meninggalkan dunia sama sekali, dan mengikuti etika murni dari cinta
dan kasih sayang. Demikianlah maka mereka akan menyatu dengan Yesus, dan
menjadi sinar Cahaya Illahi.[3]

B.   Dasar-dasar  Sejarah mistik dalam Agama Islam 

a.     Dasar-dasar mistik dalam Agama Islam
Mistisisme dalam islam diberi nama Tasawwuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata fufisme dalam istilah orientalis barat dipakai untuk mistisisme islam Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat diagama-agama lain. Tujuan dari tasawuf itu sendiri ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan tuhan, menyatu dengan tuhan dan seseorang itu menyadaria akan kehadirat tuhan.  Dan intisarinya ialah menyadari akan adanya tuhan dapat berkomunikasi dan berdialog antara roh manusia dan tuhan dan biasanya dilakukan dengan kontemplasi atau mengasingkan diri. Dan dalam islam kesadaran dengan tuhan itu dapat juga dinamakan dengan ittihad yaitu bersatu dengan Tuhan.
Tasawuf adalah suatu ilmu penegtahuan yang mempelajari bagaimana cara dan jalan seorang manusia supaya dapat lebih memdekatkan diri dengan Tuhan yaitu Alloh Swt.[4]


b.     Sejarah mistik dalam Agama Islam
Ada beberapa teori yang membahas tentang awal munculnya aliran-aliran tasawwuf ini atau mistisisme dalam agama islam juga berbeda-beda.
1.     Pengaruh Kristiani dengan paham mengetahui dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Mereka menggunakan kemah yang sederhana digunakan untuk berlindung diri sendiri dan bagi orang yang yang perlu perlindungan ketika kemalaman dan dan lampu yang mereka pasang dipergunakan bagi kafilah-kafilah yang lalu, mereka juga memberi makan bagi musyafir-musyafir yang kelaparan. Sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib umat kristiani ini. 
2.     Falasafat mistik pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah dialam samawi. Ketika menginginkan kesenangan samawi, manusia harus bisa mencapai Zhud( membersihkan Roh dan meninggalkan hidup materi) untuk melanjutkan berkontemplasi,dan ini jugalah yang mempengaruhi timbulnya Zhud dan sufisme dalam Islam.
3.     Falsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali keTuhan, tetapi ketika Roh sudah masuk kealam materi, Roh itu akan menjadi kotor , dan jika ingin kembali ketempat asalnya Roh harus dibersihkan terlebih dahulu. Sama dengan yang lainnnya, ketika ingin membersihakan Roh manusia harus meninggalkan dunia dan mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.
4.     Dalam ajaran Budha dengan faham Nirwananya.untuk mencapai Nirwana orang harus meninggalakan dunia dan memasuki hidup berkontemplasi. Faham Nirwana ini hampir sama dengan faham Fana’.
5.     Dalam ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia unutk meninggalkan kehidupan di dunia dan mendekati Tuhan unutk mencapai persatuan Atman dan Brahman.[5]
dan  perlu diketahui sufisme adalah ajara-ajaran mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan. 
Mistisisme ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima: wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indera-indera atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya satu bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan Kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu ambil bagian dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih besar daripada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih.[6]


                     

[4] Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme Islam. Hal 56. PT.Bulan Bintang. Cet.9. Jakarta:1995
[5] Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme Islam. Hal 56. PT.Bulan Bintang. Cet.9. Jakarta:1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar